Tanggapan tentang tantangan masalah kesehatan papua
Rabu, 31 Januari 2018 07:08 WIB
Tantangan Masalah Kesehatan Papua
Prajurit TNI berbincang
dengan warga saat menunggu antrean berobat di puskesmas Ayam di kampung
Bayiwpinam, Distrik Akat, Kabupaten Asmat, Papua, 26 Januari 2018. Menurut
catatan puskesmas bulan Oktober 2017 hingga Januari 2018 tercatat sebanyak 34
pasien rawat jalan karena menderita campak. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Yanuar Nugroho
Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI
Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI
Kejadian luar biasa (KLB)
campak dan masalah gizi buruk yang dialami sebagian warga Suku Asmat, Papua,
memakan korban jiwa. Selama September 2017 hingga 28 Januari 2018, sebanyak 71
anak meninggal dunia, 646 anak terjangkit campak, dan 218 anak menderita gizi
buruk. Pemerintah bertindak segera dengan membentuk satuan tugas (satgas)
kesehatan.
Dari berbagai faktor
penyebab KLB campak di Asmat, setidaknya dapat diidentifikasi tiga masalah: (1)
cakupan imunisasi dasar yang kurang dengan rata-rata hanya sekitar 20 persen,
(2) tenaga kesehatan yang tidak terdistribusi dengan baik, dan (3) gizi buruk.
Dari 23 distrik di Kabupaten Asmat, ada 13 puskesmas utama dan tiga puskesmas
pembantu yang dilayani tujuh dokter. Jarak antar-puskesmas bisa memakan waktu
tempuh berjam-jam dan bahkan berpuluh-puluh jam dengan biaya yang tidak murah.
Sedangkan gizi buruk di wilayah yang terkena dampak, sebanyak 30,3 persen
mengalami masalah berat badan kurang (underweight) dan 25,9 persen pertumbuhan
terhambat (stunting).
Jika dilihat lebih jauh,
akar dari masalah ini adalah (1) akses dan ketersediaan pangan, (2) sanitasi
dan fasilitas air bersih yang tidak memadai, (3) akses transportasi yang amat
mahal atau bahkan tidak tersedia sama sekali, (4) akses dan infrastruktur
informasi yang sangat minim, serta (5) pola hidup dan pola asuh yang kurang
sehat.
KLB memang perlu
penanganan secara cepat dan efisien. Pemerintah telah menetapkan delapan
wilayah penanganan, seperti distrik Sawa Ema, Pulau Tiga, dan Pantai Kasuari.
Untuk memperkuat tenaga medis, satgas telah menghimpun tambahan tenaga medis
sebanyak 70 orang dari TNI, 15 orang dari Polri, 45 orang dari pemerintah
pusat, dan 40 orang dari pemerintah daerah.
Mengingat cakupan
persoalan yang relatif dalam dan kompleks, koordinasi di pemerintahan juga
melibatkan kementerian/lembaga yang lebih luas. Misalnya, selain memaksimalkan
sarana transportasi milik Pemerintah Daerah Asmat, TNI dan Kementerian
Perhubungan membantu akses transportasi darat, laut, ataupun udara.
Hambatan-hambatan birokrasi harus diterobos dan distribusi sumber daya,
termasuk keuangan, harus efektif dan efisien sesuai dengan kondisi di lapangan.
Jika tidak, operasi ini tidak akan bertahan lama.
Masalah kesehatan di Asmat
ini bisa jadi hanya puncak gunung es. Hal yang sama amat mungkin terjadi di
kabupaten-kabupaten lain di Papua. Stunting, misalnya, mengancam wilayah lain,
seperti Tolikara, Nduga, Intan Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya, dan Dogiyai.
Wilayah-wilayah lain dengan indeks pembangunan kesehatan masyarakatnya yang
masih rendah berpotensi terancam penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi,
seperti Pegunungan Bintang, Yahukimo, Paniai, Waropen, Supiori, Yalimo,
Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, dan Puncak Jaya.
Data status kesehatan yang
menjadi pijakan perkiraan ini sudah tersedia sejak sebelum 2015. Mengapa kasus
di Asmat tidak dapat diantisipasi? Yang lebih mendasar: anggaran yang
digelontorkan untuk Papua dan Papua Barat sekitar Rp 60-80 triliun per tahun.
Mengapa pembangunan manusianya, yang hanya berjumlah 4 juta jiwa, tidak
mencapai kualitas yang diharapkan?
Kondisi geografis yang
sulit dijangkau, akses informasi yang amat terbatas, rendahnya infrastruktur
dasar, serta minimnya tenaga lapangan yang mampu menjangkau hunian warga adalah
satu sebab yang sudah lama diketahui dan memang tidak mudah ditangani. Pada
periode ini, pemerintah telah berusaha keras mengatasinya dengan jalan membuka
keterisolasian melalui pembangunan infrastruktur hingga menyalurkan berbagai
jaminan sosial. Tapi tidak semua berjalan semulus yang diharapkan.
Untuk itu, kuncinya adalah
meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam merencanakan, melaksanakan, dan
mengendalikan program pembangunan. Pemerintah daerah tidak boleh abai pada
detail yang justru amat penting, seperti jumlah puskesmas, fasilitas umum,
guru, dokter dan bidan. Semua tantangan ini-alam, manusia, dan tata kelola
pemerintahan-perlu ditanggapi dalam jangka pendek ataupun dirumuskan
kebijakannya dalam jangka menengah dan panjang.
Karena itu, selain
pendekatan jangka pendek dalam penanganan krisis saat ini, dalam intervensi
jangka menengah dan panjang tumpuannya adalah peningkatan kualitas,
ketersediaan tenaga medis, dan penciptaan ketahanan pangan yang berbasis pada
pola hidup masyarakat. Yang lebih penting lagi adalah pendampingan pemerintah
daerah dalam pelayanan publik, termasuk pelayanan kesehatan.
Kementerian/lembaga harus mendampingi mereka dalam jangka tertentu, misalnya
3-5 tahun, hingga mereka mampu mengelola pelayanan publik dengan standar yang
baik.
Persoalan kesehatan di
Papua telah menyentak kita. Tapi hal ini juga menjadi kesempatan bagi semua
pihak, khususnya pemerintah pusat dan daerah, untuk berbenah. Presiden Jokowi
secara terbuka telah menyatakan masalah ini tidak perlu ditutup-tutupi. Hal
tersebut akan membuka ruang partisipasi dan koreksi dalam pelaksanaannya.
Tanggapan : menurut saya, seharusnya pemerintahan lebih perhatian terhadap apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. penyebab pertama dikarenakan imunisasi yang kurang hal ini seharusnya lebih diutamakan untuk balita yang membutuhkan stamina yang kuat. kedua, tenaga kerja seperti dokter dan guru harus didistribusikan secara merata agar warga mendapatkan kesehatan dan pendidikan yg baik. ketiga, perlunya makanan yang bergizi untuk masyarakat terutama anak-anak agar tidak kekurangan gizi.
Komentar
Posting Komentar